Selasa, 24 Juni 2008

Jangan sembarang memberi antibiotik pada anak

Jika bayi dan balita menderita flu, jangan diberi antibiotik. Karena flu akan sembuh dengan sendirinya, sementara antibiotik hanya memberi efek plasebo (bohongan). Antibiotik itu tidak mempercepat, apalagi melumpuhkan, virus flu.
Masih kerap terjadi dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik untuk bayi dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang gejala yang menyertai flu kadang membuat orangtua panik, seperti demam, batuk, dan pilek. Oleh sebab itu, tak sedikit orangtua yang malah mendesak dokter memberikan antibiotik yang dianggap sebagai “obat dewa”.
Orangtua sebagai yang dititipi anak oleh Tuhan seharusnya tak segan-segan bertanya sama dokter. Apakah anaknya benar-benar butuh antibiotik? Bukankah penyebabnya virus? Tanyakan itu kepada dokter.
Namun, kadangkala menghadapi orangtua yang bersikap kritis, sebagian dokter beralasan antibiotik harus diberikan mengingat stamina tubuh anak sedang turun karena flu. Jika tidak diberi antibiotik, hal itu akan memberi peluang virus dan kuman lain menyerang.
Sejak lahir manusia dibekali sistem imunitas yang canggih. Ketika diserang penyakit infeksi, sistem imunitas tubuh terpicu lebih giat lagi. Infeksi karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh dengan makan baik dan istirahat cukup, serta diberi obat penurun panas jika suhunya di atas 38,5 derajat Celsius. Jadi, bukan diberi antibiotik. Kecuali kalau kita punya gangguan sistem imun seperti terserang HIV.
Antibiotik seharusnya tidak diberikan kepada anak karena malah merusak sistem kekebalan tubuhnya. Yang terjadi imunitas anak malah turun, lalu sakit lagi. Lalu jika dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan sakit lagi. Terus begitu dan kunjungan ke dokter makin sering karena anak tambah mudah sakit. Antibiotik baru dibutuhkan anak ketika terserang infeksi yang disebabkan bakteri. Contoh penyakit akibat infeksi bakteri adalah sebagian infeksi telinga, infeksi sinus berat, radang tenggorokan akibat infeksi kuman streptokokus, infeksi saluran kemih, tifus, tuberkulosis, dan diare akibat ameba hystolytica.
Namun jika antibiotik digunakan untuk infeksi yang nonbakteri, hal itu malah menyebabkan berkembang biaknya bakteri yang resisten.
Perlu diingat juga, untuk radang tenggorokan pada bayi, penelitian membuktikan 80–90 persen bukan karena infeksi bakteri streptokokus, jadi tidak perlu antibiotik. Radang karena infeksi streptokokus hampir tidak pernah terjadi pada usia di bawah dua tahun, bahkan jarang hingga di bawah empat tahun.
Beberapa keadaan yang perlu diamati jika anak mengonsumsi antibiotik adalah gangguan saluran cerna, seperti diare, mual, muntah, mulas/kolik, ruam kulit, hingga pembengkakan bibir, kelopak mata, hingga gangguan napas. Berbagai penelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini akan mencetuskan terjadinya alergi pada masa mendatang.
Kemungkinan lainnya, gangguan akibat efek samping beberapa jenis antibiotik adalah demam, gangguan darah di mana salah satu antibiotik seperti kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang sehingga produksi sel-sel darah turun. Lalu, kemungkinan kelainan hati, misalnya antibiotik eritromisin, flucloxacillin, nitrofurantoin, trimetoprim, dan sulfonamid. Golongan amoxycillin clavulinic acid dan kelompok makrolod dapat menimbulkan allergic hepatitis. Sementara antibiotik golongan aminoglycoside, imipenem/meropenem, dan ciprofloxacin juga dapat menyebabkan gangguan ginjal.
Jika anak memang memerlukan antibiotik karena terkena infeksi bakteri, pastikan dokter meresepkan antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri yang dituju, yaitu antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum antibiotic). Untuk infeksi bakteri yang ringan, pilihlah yang bekerja terhadap bakteri gram positif, sementara infeksi bakteri yang lebih berat (tifus, pneumonia, dan apendisitis) pilihlah antibiotik yang juga membunuh bakteri gram negatif. Hindari pemakaian salep antibiotik (kecuali infeksi mata), serta penggunaan lebih dari satu antibiotik kecuali TBC atau infeksi berat di rumah sakit.
Jika anak terpaksa menjalani suatu operasi, untuk mencegah infeksi sebenarnya antibiotik tidak perlu diberikan dalam jangka waktu lama. Bahkan pada operasi besar seperti jantung, antibiotik cukup diberikan untuk dua hari saja.
Para orangtua hendaknya selalu memfotokopi dan mengarsip segala resep obat dari dokter, dan tak ada salahnya mengonsultasikan kepada ahli farmasi sebelum ditebus.
Sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru dan lebih kuat. Sementara kuman terus berkembang makin canggih dan resisten akibat penggunaan antibiotik yang irasional. Inilah yang akan menjadi masalah besar kesehatan masyarakat. Antibiotik dalam penggunaan yang tepat adalah penyelamat, tetapi jika digunakan tidak tepat dan brutal, ia akan menjadi bumerang. (lampungpost)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

SAYA MEMPUNYAI KESULITAN UNTUK MENJELASKAN KE SUAMI TENTANG BAHAYA ANTI BIOTIK UNTUK ANAK2, TAPI SUAMI TIDAK MAU MENGERTI DAN TETAP KEKEUH HARUS NGASI ANTIBIOTIK. GIMANA CARA YANG EFEKTIF YA ?